BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini
dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat
Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi
dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per
kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia
makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan
ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas
pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia.
Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The
World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang
rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei
di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia
hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari
53 negara di dunia.
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh.
Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan
nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya
keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena
beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi
dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang
terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri
sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia
terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu
pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu
diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan
memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia
Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya
dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah
bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam
peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu
pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun
informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan
yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian
dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data
Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya
delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The
Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga
hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The
Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh
sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma
Program (DP).
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah
masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal
tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya.
Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Permasalahan-permasalahan yang tersebut di atas akan menjadi bahan
bahasan dalam makalah yang berjudul “ Rendahnya Kualitas Pendidikan di
Indonesia” ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana ciri-ciri pendidikan di Indonesia?
2. Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia?
3. Apa saja yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia?
4. Bagaimana solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan ciri-ciri pendidikan di Indonesia.
2. Mendeskripsikan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini.
3. Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
4. Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Pemerintah
Bisa dijadikan sebagai sumbangsih dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
2. Bagi Guru
Bisa dijadikan sebagai acuan dalam mengajar agar para peserta didiknya dapat berprestasi lebih baik dimasa yang akan datang.
3. Bagi Mahasiswa
Bisa dijadikan sebagai bahan kajian belajar dalam rangka meningkatkan
prestasi diri pada khususnya dan meningkatkan kualitas pendidikan pada
umumnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas
dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang
dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk
kepentingan bangsa Indonesia.
Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui
pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi,
melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama
di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi,
melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap
melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau
perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka
pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan
soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta
menyimpulkannya.
B. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia
semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar,
dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak
dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini
kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di
jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah
lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar
murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang
mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini
dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur
mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya
pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang.
Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting
adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada
banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal
seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung
Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).
Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah
dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain
yaitu:
· Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan
akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia.
Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
· Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
· Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan
kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan
dalam ujian nasional.
· Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di
bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga
siap pakai yang dibutuhkan.
· Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti
menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
· Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
· Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
· Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.
C. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan
peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat
tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik
(dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat
meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat
berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi
pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu
penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm
kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik
dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak
mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini
merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas
pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu
apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai
hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia
Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut,
yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang
tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu
jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat
rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan
diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan
hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai
kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan
menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan
peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan
minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan
sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan
rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan
dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh
lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik
tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang
jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan
prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah
disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya
biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu
pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses
pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber
daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia
umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih
randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil
sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di
Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika
penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya
pendidiakan.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara
tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal
atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang
properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya
transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang
kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah
diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak
hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat
tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu
diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada
pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan
bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya
adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa
pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan
negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada
sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan
diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena
ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan
formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik
yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis,
bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan
yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya
mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang
dinilai kurang.
Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas
adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan
peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya
mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang
mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai
dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan,
yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi
jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal
lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran
dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta
didik.
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan
efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem
pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta
didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan
kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang
pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga
kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti
cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih
dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat
disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran
efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih
efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat
dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau
jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang
optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan
efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian
kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah
ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai
kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas
merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas
berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya.
Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan
yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan
pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien.
Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan
keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber
pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.
3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga
berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya
setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh
masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu
di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang
harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi
standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam
pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap
standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an
kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk
badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi
tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu
pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang
tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh
standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan
tersebut.
Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar
mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang
diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar
memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang
terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti
kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal
itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah
standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN
yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya
sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan
adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya
peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa
melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses
pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali,
evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa
mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan
sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di
dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih
dalam lagi
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya
sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya
mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika
kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita
mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan
di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut
ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan
rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi
kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar
rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak
standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya.
Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak
memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat
146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258
ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau
42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan
dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau
kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi
MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di
SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru
belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya
sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan
melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak
mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun
2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak
mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12%
(negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73%
(swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26%
(swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru
itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar
1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma
D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs
baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di
tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki
pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen,
baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu
keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral
pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar
memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi
tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga
dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya
kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru
Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru
menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan
rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460
ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam.
Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa
melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain,
memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus,
pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13
Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen
(PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan
hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat
penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok,
tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan
khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka
yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah
dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah
lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan
masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari
2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak
sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU
Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru,
dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak
memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa
Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in
Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya
berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan
di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini
prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai
negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for
Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang
kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya
yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan
ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila
dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada
jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992),
studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational
Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa
kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca
untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6
(Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi
bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk
uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat
terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science
Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38
negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada
urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan
tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di
asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu
menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah
Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat
Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka
Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai
94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi.
Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8%
(9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih
sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan
menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh
karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang
tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data
BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka
pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%,
Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode
yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing
tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data
Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus
sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan
masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil
pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang
materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika
peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk
menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk
mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman
Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin
tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak
boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, —
sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk
SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan
pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di
Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan
mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang
merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas.
Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu
berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat
implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi
pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan
Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator
kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari
pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan
rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum
Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke
bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat
besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat
melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik
badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun
berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS
adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN
sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa
Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan
publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan
pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari
APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan.
Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan
menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen
(Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan.
Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja
dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan
dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang
Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya,
terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau
satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat
berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk
diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education
Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai
bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah
melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah
memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan
pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya
untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang
kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan
masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang
kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia,
privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah
dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui
Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah
berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan
menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya
sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga
perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status
menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika
alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini
hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa
negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun
biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang
menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak
harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya
membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin
setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat
bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya
Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal
keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk
‘cuci tangan’.
D. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem
sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem
pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan.
Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks
sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip
antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan
publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut
perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru,
dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem
ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem
pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam.
Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan
sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan
menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang
berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk
menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada
upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan.
Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan
kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan
untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya,
diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi
pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan,
dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di
bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal
yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan
standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah
lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain
dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem
pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.
B. Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut
perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu
bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di
lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan
negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya
terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang
terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini
bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.
Minggu, 16 Desember 2012
Senin, 03 Desember 2012
Metode Belajar Membaca dan Menulis Untuk Anak Usia Dini
Membaca adalah kunci untuk membuka
dunia, begitu kata pepatah. Begitu pentingnya membaca maka sejak kecil orang
tua berkeinginan agar anaknya bisa membaca. Itulah sebabnya membaca perlu
menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi anak.
Banyak cara
mengajari anak membaca namun tetap bersenang-senang.
1.Bernyanyi.
Anak-anak
suka mengikuti irama dan bernyanyi. Ajarilah mereka lagu ABC dan perkenalkan
mereka dengan huruf-huruf nya. Gunakan alat bantu kertas huruf berwarna-warni
akan sangat membantu pemahaman anak.
2. Memasang
karpet huruf.
Selain untuk
tempat bermain, karpet huruf bisa menjadi sarana untuk belajar. Perkenalkan huruf-huruf
dan gambar yang menyertainya kepada anak-anak dan bantu mereka untuk
mengingatnya, contoh huruf A untuk apel, dst.
3.Belajar
membaca dengan flash card.
Metode
belajar membaca Flash Card didasari fakta bahwa anak kecil belajar melalui
permainan. Apabila kegiatan belajar yang mereka jalani menyenangkan, maka
mereka akan menikmatinya, sehingga dapat belajar jauh lebih cepat.
Untuk itu, para ahli menganjurkan agar
menggunakan flash card (kartu) untuk membantu si kecil belajar
membaca. Prinsipnya adalah Anda menggunakan kartu-kartu yang berukuran besar
yang bertuliskan kata-kata sederhana. Setiap kartu atau flash card
tersebut memuat 1 kata yang ditulis dengan huruf kecil (bukan kapital) dengan ukuran
besar dan warna yang jelas/mencolok. Para
ahli mengatakan bahwa bayi sangatlah jenius terhadap bahasa.
Sebagai contoh, coba kita lihat… bagi setiap bayi yang lahir di Indonesia,
bahasa Indonesia merupakan bahasa asing – tidak bedanya dengan dengan bahasa
Inggris atau Rusia.
Namun apa
yang terjadi? Ternyata si bayi bisa mempelajari bahasanya! Bagaimana ia
mempelajarinya? Anda bisa saja dengan bangganya mengatakan bahwa Anda yang yang
telah mengajarinya, tapi kalau mau jujur, paling-paling Anda hanya mengajari
‘Mama’, ‘Papa’ dan sebagian kecil kata saja, ya kan? Lalu bagaimana dengan
ribuan kosakata, berikut dengan cara pengucapannya yang benar yang diserap oleh
si kecil – apakah Anda yang mengajarkannya secara khusus?
Para ahli
menyimpulkan, bahwa anak-anak mempelajari bahasanya melalui konteks, bukan
dengan cara diajarkan satu per satu dari daftar koleksi kata berikut dengan
artinya (ini persisi seperti yang diajarkan pada umumnya di sekolah-sekolah
ketika mengajarkan bahasa asing ataupun ketika mengajarkan anak membaca).
Oleh sebab
itu, para ahli menganjurkan agar ketika mengajarkan anak membaca, kita
hendaknya mengolah bahasa dalam bentuk tulisan sebagaimana kita mengolah bahasa
dalam bentuk pembicaraan. Artinya, kita sebaiknya membuat proses belajar
membaca untuk bayi sesederhana mungkin. Dengan begini, anak kecil bisa belajar
membaca secara alami dan tanpa ia sadari – sebagaimana ia belajar berbicara
dengan bahasa ibunya. Untuk bisa memahami bahasa melalui telinga, diperlukan 3
persyaratan:
- Lantang
- Jelas
- Diulang-ulang
Dan tanpa
disadari, seorang ibu biasanya berbicara kepada bayinya dengan 3 elemen ini; lantang,
jelas dan diulang-ulang.
Alasan utama mengapa kebanyakan bayi tidak menyerap
bahasanya melalui mata menuju ke otaknya sebagaimana bahasa tersebut diserap
melalui telinga menuju otaknya, adalah karena ternyata untuk bisa membaca
bahasa tersebut, diperlukan bahasa yang disajikan kepada penglihatannya dalam
bentuk yang besar, jelas dan diulang-ulang. Dan inilah yang gagal diberikan
oleh kebanyakan orang tua kepada bayinya – menyajikan kata-kata dalam bentuk
besar, jelas dan diulang-ulang, sehingga anak-anak bisa belajar dengan sangat
mudah. Jangan lupa,
setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda. Setiap mereka memiliki kelebihan
dan kelemahan yang berbeda-beda dalam mempelajari sesuatu yang baru. Oleh sebab
itu, pastikan Anda bisa menyesuaikan cara pembelajaran untuk setiap anak.
Selamat menerapkan metode belajar membaca dengan flash card dan semoga
berhasil!. Berikutnya,
cari waktu yang lapang dan menyenangkan untuk Anda dan buah hati Anda. Duduklah
bersama dan tunjukkan flash card tersebut kepadanya satu per satu sambil
Anda bacakan dengan lantang dan jelas..
Bagaimana Cara Belajar
Membaca Menggunakan Flash Card?
Ada beberapa
hal penting yang perlu Anda ketahui tentang penggunaan flash card:
- Flash card sebaiknya disusun dan dikelompokkan berdasarkan subyek yang sama
- Untuk flash card yang bergambar, gambarnya harus berukuran cukup besar dan jelas
- Flash card gambar hanya berisi 1 gambar untuk setiap kartu, tanpa latar belakang apapun
- Ketika Anda menunjukkan kartu tersebut kepada anak Anda, usahakan tidak terlalu lama. Cukup sekitar 1 detik
- Ketika anak Anda terlihat bosan, segera hentikan aktifitas belajar. Ingat, proses belajar jangan sampai dipaksakan dan jangan terlalu ingin cepat melihat hasil
- Adakan kegiatan ini hanya ketika anak Anda sedang baik perasaannya. Jangan sekali-kali mengadakannya ketika ia sedang lelah, sakit, atau rewel
- Pastikan juga Anda sedang dalam keadaan senang ketika mengajarkan si kecil membaca. Dengan begini, suasana belajar-mengajar menjadi menyenangkan
- Ketika anak Anda selesai mempelajari 1 set flash card, Anda bisa beralih ke set berikutnya sehingga ia selalu mempelajari sesuatu yang baru
Jangan lupa,
setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda. Setiap mereka memiliki kelebihan
dan kelemahan yang berbeda-beda dalam mempelajari sesuatu yang baru. Oleh sebab
itu, pastikan Anda bisa menyesuaikan cara pembelajaran untuk setiap anak. Selamat
menerapkan metode belajar membaca dengan flash card dan semoga berhasil!
Anak-anak
suka belajar membaca dengan flash card karena biasanya disertai gambar menarik
pada flash card. Tidak semua kata ada pada flash card karena biasanya flash
card disusun berdasarkan topik, misalnya hewan, profesi, buah, dan sebagainya.
Orang tua bisa membuat flash card sendiri. Gunakan kata-kata yang dikenal
anak-anak, misalnya nama-nama anggota keluarga, nama kucingnya, makanan
kesukaannya, dan sebagainya.
4. Belajar
melalui media elektronik.
Saat ini
sudah banyak dijual VCD tentang pengenalan huruf, angka, maupun kata-kata
sederhana untuk anak-anak. Adapula pelajaran membaca yang dirangkum menjadi
cerita anak. Selain itu ada juga game bagi anak yang bisa melatih anak membaca.
Yang sangat penting adalah tetap mendampingi anak-anak saat mereka melakukan
aktifitas ini. Selain pentingnya interaksi orang tua dan anak pada setiap
kegiatan, perlu diingat juga untuk tidak memaksa anak melakukan apa yang orang
tua mau dengan cara orang tua. Dunia anak adalah dunia bermain dan waktu
konsentrasi anak belumlah sepanjang waktu konsentrasi orang tua. Jangan membuat
anak merasa tertekan dan terbebani dengan target orang tua. Buatlah anak merasa
nyaman dan senang belajar membaca, sehingga mereka akan menikmati dan suka saat
diajak melakukan kegiatan seperti itu lagi. Bahkan mereka akan mencari waktu
untuk melakukan kegiatan membaca. Mari membaca!
.
II.Metode Belajar Menulis Untuk Anak
Usia Dini
1.
Metode Eja
Metode eja di dasarkan pada
pendekatan harfiah, artinya belajar membaca dan menulis
dimulai dari huruf-huruf yang dirangkaikan menjadi suku kata. Oleh
karena itu pengajaran dimulai dari pengenalan huruf-huruf. Demikian halnya
dengan pengajaran menulis di mulai dari huruf lepas, dengan langka-langkah
sebagai berikut:
a.
Menulis
huruf lepas
b. Merangkaikan
huruf lepas menjadi suku kata
c.
Merangkaikan
suku kata menjadi kata
d. Menyusun
kata menjadi kalimat (Djauzak, 1996:4)
2.
Metode kata lembaga
Metode kata lembaga di mulai
mengajar dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Mengenalkan
kata
b. Merangkaikan
kata antar suku kata
c.
Menguraikan
suku kata atas huruf-hurufnya
d. Menggabungkan
huruf menjadi kata (Djauzak, 1996:5)
3.
Metode Global
Metode global memulai pengajaran
membaca dan menulis permulaan dengan membaca kalimat secara utuh yang ada di
bawah gambar, menguraikan kalimat dengan kata-kata, menguraikan kata-kata
menjadi suku kata (Djauzak, 1996:6).
4.
Metode SAS
Menuryut (Supriyadi,
1996: 334-335) pengertian metode SAS adalah suatu pendekatan cerita di
sertai dengan gambar yang didalamnya terkandung unsur analitik sintetik. Metode
SAS menurut (Djuzak,1996:8) adalah suatu pembelajaran menulis permulaan yang
didasarkan atas pendekatan cerita yakni cara memulai mengajar menulis dengan
menampil cerita yang diambil dari dialog siswa dan guru atau siswa dengan
siswa. Teknik pelaksanaan pembelajaran metode SAS yakni keterampilan
menulis kartu huruf, kartu suku kata, kartu kata dan kartu kalimat, sementara
sebagian siswa mencari huruf, suku kata dan kata, guru dan sebagian siswa
menempel kata-kata yang tersusun sehingga menjadi kalimat yang berarti
(Subana). Proses operasional metode SAS mempunyai langkah-langkah dengan urutan
sebagai berikut:
a.
Struktur
yaitu menampilkan keseluruhan.
b. Analitik
yatu melakukan proses penguraian.
c.
Sintetik
yaitu melakukan penggalan pada struktur semula.
(Subana:176).
Langkah-langkah
Pembelajaran Menulis Permulaan
Langkah-langkah kegiatan menulis
permulaan terbagi ke dalam dua kelompok, yakni (a) penegenalan huruf, dan (b)
latihan. Pengenalan Huruf Kegiatan ini dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan
pembelajaraan membaca permulaan. Penekanan pembelajaran diarahkan pada
pengenalan bentuk tulisan serta pelafalannya dengan benar. Fungsi pengenalan
ini dimaksudkan untuk melatih indra siswa dalam mengenal dan membedakan bentuk
dan lambang-lambang tulisan. Mari kita perhatikan salah satu contoh
pembelajaran pengenalan bentuk tulisan untuk murid kelas 1 SD. Misalnya, guru
hendak memperkenalkan huruf a, i, dan n. Langkah-langkah yang ditempuh adalah
sebagai berikut:
1.
Guru
menunjukkan gambar seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Kedua
gambar anak tersebut diberi nama “nani” dan “nana”.
2.
Guru
memperkenalkan nama kedua anak itu sambil menunjukkan tulisan “nani” dan “nana”
yang tertera di bawah masing-masing gambar.
3.
Melalui
proses tanya jawab secara berulang-ulang anak diminta menunjukkan mana “nani”
dan mana “nana” sambil diminta menunjukkan bentuk tulisannya.
4.
Selanjutnya,
guru memindahkan dan menuliskan kedua bentuk tulisan tersebut di papan tulis
dan anak diminta memperhatikannya. Guru hendaknya menulis secara perlahan-lahan
dan anak diminta untuk memperhatikan gerakan-gerakan tangan serta contoh
pengucapan dari bentuk tulisan yang sedang ditulis guru.
5.
Setiap
tulisan itu kemudian dinalisis dan disintesiskan kembali. Perhatikan contoh
tulisan berikut.
nani nana
na ni na na
n a n i n
a n i
na ni na na
nani nana
Demikian seterusnya, kegiatan ini dilakukan
berulang-ulang bersamaan dengan pembelajaran membaca permulaan. Proses
pemberian latihan dilaksanakan dengan mengikuti prinsip dari yang mudah ke yang
sukar, dari latihan sederhana menuju latihan yang kompleks. Ada beberapa bentuk
latihan menulis permulaan yang dapat kita lakukan, antara lain:
a.
Latihan
memegang pensil dan duduk dengan sikap dan posisi yang benar.
Tangan kanan berfungsi untuk
menulis, tangan kiri untuk menekan buku tulis agar tidak mudah bergeser. Pensil
diletakkan diantara ibu jari dan telunjuk. Ujung ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah menekan pensil dengan luwes, tidak kaku. Posisi badan ketika duduk
hendaknya tegak. Dada tidak menempel pada meja, jarak mata antara mata dengan
buku kira-kira 25-30 cm.
b. Latihan
gerakan tangan.
Mula-mula melatih gerakan tangan di
udara dengan telunjuk sendiri atau dengan bantuan alat seperti pinsil, kemudian
dilanjutkan dengan latihan dalam buku latihan. Agar kegiatan ini menarik,
sebaiknya disertai dengan kegiatan bercerita, misalnya untuk melatih membuat
garis tegak lurus guru dapat bercerita yang ada kaitannya dengan pagar, bulatan
dengan telur.
c.
Latihan
mengeblat, yakni menirukan atau menebalkan suatu tulisan dengan menindas
tulisan yang telah ada.
Ada beberapa cara mengeblat yang bisa
dilakukan anak, misalnya dengan menggunakan kertas karbon, kertas tipis,
menebalkan tulisan yang sudah ada. Sebelum anak melakukan kegiatan ini, guru
hendaknya memberi contoh cara menulis dengan benar di papan tulis, kemudian
menirukan gerakan tersebut dengan telunjuknya di udara. Setelah itu, barulah
kegiatan mengeblat dimulai. Pengawasan dan pembimbingan harus dilakukan secara
individual sampai seluruh anak memberikan perhatiannya.
d. Latihan
menghubung-hubungkan tanda titik-titik yang membentuk tulisan.
Latihan dapat dilakukan dalam
buku-buku yang secara khusus menyajikan latihan semacam ini.
e.
Latihan
menatap bentuk tulisan.
Latihan ini dimaksudkan untuk
melatih koordinasi antara mata, ingatan, dan jemari anak ketika menulis sehingga
anak dapat mengingat bentuk kata atau bentuk huruf dalam benaknya dan
memindahkannya ke jari-jemari tangannya. Dengan demikian, gambaran kata yang
hendak ditulis tergores dalam ingatan dan pikiran siswa pada saat dia
menuliskannya.
f.
Latihan menyalin,
baik dari buku pelajaran maupun dari tulisan guru pada papan tulis.
Latihan ini hendaknya diberikan
setelah dipastikan bahwa semua anak telah mengenal huruf dengan baik. Ada
beragam model variasi latihan menyalin, di antaranya menyalin tulisan apa adanya
sesuai dengan sumber yang ada, menyalin tulisan dengan cara yang berbeda,
misalnya dari huruf cetak ke huruf tegak bersambung, atau sebliknya dari huruf
tegak bersambung ke huruf cetak.
g. Latihan
menulis halus/indah.
Latihan dapat dilakukan dengan
menggunakan buku bergaris untuk latihan menulis atau buku kotak. Ada petunjuk
berharga yang dapat Anda ikuti, jika mrid-murid Anda tidak memiliki fasilitas
seperti itu. Perhatikan petunjuk berikut dengan cermat.
1) Untuk
tulisan/huruf cetak, bagilah setiap baris pada halaman buku menjadi dua. Untuk
ukuran dan bentuk tulisan, lihat pedoman yang dikeluarkan oleh Departemen
Pendidikan Nasional.
2) Untuk
tulisan tegak bersambung. Bagilah setiap baris pada halaman buku menjadi tiga
bagian. Untuk ukuran dan bentuk tulisan lihat pedoman dari Depdiknas.
h. Latihan
dikte/imla.
Latihan ini dimaksudkan untuk
melatih siswa dalam mengkoordinasikan antara ucapan, pendengaran, ingatan, dan
jari-jarinya ketika menulis, sehingga ucapan seseorang itu dapat didengar,
diingat, dan dipindahkan ke dalam wujud tulisan dengan benar.
i.
Latihan
melengkapi tulisan (melengkapi huruf, suku kata, atau kata) yang secara sengaja
dihilangkan. Perhatikan contoh berikut!
Melengkapi huruf
b
|
o
|
l
|
a
|
b
|
…
|
l
|
a
|
…
|
o
|
…
|
…
|
…
|
…
|
…
|
…
|
Langganan:
Postingan (Atom)